Yogyakarta, yang sejak Oktober 2014 ditetapkan sebagai Kota Batik Dunia dengan slogan “Jogja Kota Batik Dunia”, terus menguatkan komitmen dalam menjaga kelestarian batik. Batik tidak hanya memiliki nilai estetika, tetapi juga menyimpan nilai historis, global, ramah lingkungan, dan ekonomi yang tinggi.
Pesan tersebut disampaikan Ketua Harian Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) Daerah Istimewa Yogyakarta, GKBRAA Paku Alam, saat menjadi narasumber dalam kegiatan Jogja International Batik Biennale (JIBB) 2025 Goes To Campus pada Jumat (26/9). Acara berlangsung di Ruang Seminar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Gedung Akuntansi UPN “Veteran” Yogyakarta.
Dokumentasi Candid Bersama Gusti Putri
Dalam paparannya, Gusti Putri menekankan pentingnya masyarakat Yogyakarta memahami nilai historis dan orisinalitas Batik Jogja. Ia menyesalkan jika batik hanya dipandang sebatas busana tanpa dikenali makna filosofisnya.
“Sangat disayangkan kalau hanya memakai batik, tetapi tidak tahu nilai historis dan orisinalitasnya. Sebagai orang Jogja, kita harus mengenal batik dengan baik, karena bagaimana pun juga kita harus menyayangi batik,” ujarnya.
Gusti Putri juga berbagi pengalamannya sebagai seorang pembatik sejak tahun 2011. Inspirasi karyanya banyak bersumber dari naskah kuno berusia ratusan tahun yang tersimpan di Pura Pakualaman. Pada kesempatan itu, ia turut memperkenalkan batik khas Pura Pakualaman, yakni batik Asthabrata, serta menjelaskan filosofi yang terkandung di dalamnya.
Menurutnya, batik klasik seperti motif kawung maupun parang telah ada sejak masa lampau dan menyimpan pesan filosofis yang dalam.
“Walaupun kita tidak membuat batik, kita tetap harus mengenal bahwa filosofi-filosofi di dalamnya sungguh luar biasa,” tuturnya menegaskan.